Senin, 28 Maret 2011

HASANUL BASRI: Kehormatan, Jangan Dicari!

HASANUL BASRI: Kehormatan, Jangan Dicari!: "Ada sebuah kisah seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang begitu mulia hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan ..."

Kehormatan, Jangan Dicari!

Ada sebuah kisah seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang begitu mulia hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan penyerbuan ke wilayah musuh yang menentang Islam, para pasukan terheran karena hanya tinggal tenda Sang Panglima yang masih utuh belum dikemas. Amru Bin Ash mendapati seekor burung betina bertengger diatas tendanya tengah mengerami telurnya. Karena itu, ia terpaksa menunda keberangkatan pasukannya. Kejadian tersebut sungguh mengherankan dua penyusup dari pasukan musuh yang menyamar dalam pasukan kaum mukminin. Padahal pendelegasian keduanya menyusup itu karena sebelumnya para pembesar dan masyarakat yang akan diserang mendengar berita tentang kekejaman Panglima Amru bin Ash beserta pasukannya. Pasukan mukmin tak jadi menyerang wilayah yang direncanakan tersebut, karena dua penyusup tadi telah mengkhabarkan kepada penguasa dan masyarakat tentang kemuliaan dan sifat kasih kaum mukminin. Mereka pun menerima kedatangan Amru bin Ash dan pasukannya dengan tangan terbuka. 

Satu kisah menarik tentang kemuliaan Islam dan kaum mukminin yang sepatutnya direnungkan oleh ummat Islam saat ini. Betapa keterpurukan atau kejayaan Islam, bergantung pada ummat Islam itu sendiri. Anda tak perlu memalingkan muka ketika seorang turis ‘iseng’ bertanya kepada Anda, “Kereta api ini kotor sekali? Bukankah sebagian besar penumpang kereta ini adalah muslim?” Tidak hanya kereta api atau angkutan umum lainnya yang tak terjaga kebersihannya, tapi juga semua sarana umum seperti jembatan penyeberangan, halte, telepon umum, dan (bahkan) rumah sakit. Telepon umum misalnya, selain tidak bersih dan penuh coretan, sebagian besar sudah tidak berfungsi dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab. Memang belum tentu ‘orang muslim’ yang melakukannya, tapi juga tidak bisa disalahkan jika orang menganggap demikian karena kenyataannya, ummat Islam memang penghuni terbesar di jagad Indonesia ini. 

Fenomena-fenomena aneh kadang membuat kita harus berpikir kenapa sampai terjadi. Bukan sekedar soal Inul yang didukung habis-habisan oleh banyak pihak dan ketidakberdayaan Rhoma Irama dan para ulama menentang goyang ngebor penyanyi asal Pasuruan itu. Masalah Inul ini, jadi cerminan bagi ummat Islam bahwa seolah kita sama sekali tak memiliki harga diri dan kekuatan untuk menentang bentuk-bentuk ketidakbenaran. Betapa tidak, karena dalam lingkungan internal ummat Islam itu sendiri, kita tak bisa banyak berbuat dan mencari solusi. Misalnya saja, kenapa bisa terjadi seorang jama’ah kehilangan sandal di Masjid? Orang bisa saja mengatakan bahwa pencurinya pasti bukanlah salah seorang jama’ah masjid itu sendiri karena salah satu tujuan orang melakukan sholat adalah menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Tetapi ketika orang tak lagi takut untuk mencuri di suatu tempat suci seperti masjid, adalah hal memprihatinkan, bahwa suatu saat, orang akan bisa berbuat semaunya di (dalam) masjid. Meski tidak harus disamakan, ini seperti perumpamaan orang yang berani mencuri di kantor polisi, sungguh ironi. 

Para Pelajar di sekolah yang menyontek saat ujian mata pelajaran agama, mungkin bisa jadi contoh lain betapa nilai-nilai agama tidak sepenuhnya menjadi baju yang senantiasa melekat dari diri, sehingga sebagian masyarakat kita belum benar-benar menghargai agamanya (dan ajaran-ajaran didalamnya) sendiri. Jadi bukan tidak mungkin, di negara yang mayoritas ummat beragama Islam ini, -berkaca pada kasus Inul- kebenaran akan teramat mudah diberangus oleh kebatilan. Bahwa juga, mereka yang mencoba berusaha menegakkan kebenaran akan menanggung resiko menjadi pesakitan, mendapat teror dari berbagai pihak dan akhirnya harus mengaku menyerah kalah. Yang menyedihkan, hampir sebagian besar pendukung ketidakbenaran itu adalah mereka yang mengaku masih beragama Islam, ironi bukan? 

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sebagai muslim Anda akan risih dan merasa malu (seolah Islam tidak memiliki harga diri) menyaksikan hampir di setiap kendaraan umum orang-orang berpeci dan berjilbab lusuh menyodorkan amplop atau tromol pembangunan masjid atau yayasan yatim piatu tertentu. Pertanyaannya, apakah lembaga Badan Zakat Infaq Shodaqoh (BAZIS) yang dibentuk pemerintah sudah tidak lagi dipercayai memegang amanah mengumpulkan infaq atau memang masyarakatnya sendiri yang mulai berat untuk sekedar mengulurkan tangan sehingga harus ada yang menjemput infaq mereka dengan tromol dan amplop? Padahal praktek semacam ini pun, bukan rahasia lagi sangat mungkin dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin mencari kekayaan dari sisa-sisa kebaikan masyarakat kita. 

Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan kita untuk mencari-cari kehormatan, atau memaksa orang lain untuk memberikan penghormatannya. Karena yang beliau contohkan adalah, menghargai dan menghormati diri sendiri, maka dengan sendirinya, orang lain, ummat lain akan menghargai dan menghormati kita dengan utuh. Hal demikian dibuktikan langsung oleh beliau dalam kisah pemindahan Hajar Aswad. Semua pembesar kaum Quraisy dari berbagai kabilah pada saat itu merasa paling berhak mendapatkan kehormatan memindahkan Hajar Aswad ke tempat semula, sehingga sempat terjadi perselisihan. Namun akhrnya, disepakati bahwa yang datang paling pagi keesokan hari di tempat tersebutlah yang berhak dan mendapatkan kehormatan tersebut. Keesokan paginya, ternyata semua orang mendapati pemuda Muhammad tiba lebih awal di tempat tersebut dan berhak memindahkan Hajar Aswad. Namun bukan Muhammad jika tak bersikap bijaksana, dia ulurkan sorbannya dan meletakkan Hajar Aswad diatasnya, lalu Muhammad meminta empat pemimpin kabilah saat itu memegang masing-masing ujung sorban. Akhirnya, semua pembesar kabilah kaum Quraisy itu merasa puas dan senang karena mendapatkan kehormatan yang sama. 

Kisah tersebut, tentu memberikan hikmah penting bagi kita ummat Rasulullah, bahwa kehormatan bukan dicari seperti halnya orang yang menunaikan ibadah haji karena hendak mendapat gelar haji dan dipanggil “Pak Haji”. Tetapi nilai-nilai seperti kesabaran dan pengorbanan yang didapat dari ibadah haji-lah yang mestinya tersemat dalam diri seorang muslim, sehingga orang akan menghormatinya bukan sebagai “Pak Haji” melainkan sebagai orang yang didalam dirinya terpatri nilai ibadah haji. Contoh ini juga berlaku dalam hal apapun di masyarakat kita, hanya dengan menghargai dan menghormati ajaran-ajaran agama sendiri, orang lain akan menghormati kita tanpa diminta. Wallaahu ‘a’alam bishshowaab (Bayu Gautama)

Jumat, 25 Maret 2011

HASANUL BASRI: CERMIN KITA HARI INI

HASANUL BASRI: CERMIN KITA HARI INI: "Disebuah sekolah…setiap akhir ajaran selalu diadakan pementasan drama kolosal. Banyak murid yang terlibat disana. Memainkan bermacam-macam ..."

HASANUL BASRI: Wali Songo itu Orang Cina?

HASANUL BASRI: Wali Songo itu Orang Cina?: "Prof. Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal tersebut diatas dalam bukunya 'Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Nega..."

HASANUL BASRI: HASANUL BASRI: Wali Songo itu Orang Cina?

HASANUL BASRI: HASANUL BASRI: Wali Songo itu Orang Cina?: "HASANUL BASRI: Wali Songo itu Orang Cina?: 'Prof. Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal tersebut diatas dalam bukunya 'Runt..."

HASANUL BASRI: Wali Songo itu Orang Cina?

HASANUL BASRI: Wali Songo itu Orang Cina?: "Prof. Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal tersebut diatas dalam bukunya 'Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Nega..."

Wali Songo itu Orang Cina?

Prof. Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal tersebut diatas dalam bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara", tetapi pada th 1968 dilarang beredar, karena masalah ini sangat peka sekali dan mereka menilai menyakut masalah SARA? 

Bayangkan saja yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, bahkan Sultan yang pertama pun adalah orang Tionghoa: Chen Jinwen alias Raden Fatah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu). 

Walisongo atau Walisanga yang berarti sembilan (songo) Wali, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa perkataan songo ini berasal dari kata "tsana" yang berarti mulia dalam bahasa Arab. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata "sana" dalam bahasa Jawa yang berarti "tempat" 

Para wali tersebut mendapatkan gelar Sunan, yang berarti guru agama atau ustadz. Namum perkataan Sunan itu sebenarnya diambil dari perkataan "Suhu/Saihu" yang berarti guru dalam bahasa dialek Hokkian, sebab para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. "Su" singkatan dari kata "Suhu" dan "Nan" berarti selatan, sebab para penganut madzab Hanafi ini berasal dari Tiongkok Selatan. 

Perlu diketahui bahwa sebutan "Kyai" yang kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk guru agana Islam setidak-tidaknya hingga jaman pendudukan Jepang masih digunakan untuk panggilan bagi seorang lelaki Tionghoa, seperti pangggilan "Encek". 

Walisongo ini didirikan oleh Sunan Ampel pada th. 1474. Yang terdiri dari 9 wali yaitu: 

Sunan Ampel alias Bong Swie Ho Sunan Drajat alias Bong Tak Keng Sunan Bonang alias Bong Tak Ang Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang Sunan Gunung Jati alias Du Anbo - Toh A Bo Sunan Kudus alias Zha Dexu - Ja Tik Su Sunan Giri adalah cucunya Bong Swie Ho Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat

Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada th 1401 di Champa (Kamboja), ia tiba di Jawa pada th 1443. Pada saat itu di Champa banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Muslim yang bermukim disana. Pada th 1479 ia mendirikan Mesjid Demak. Ia juga perencana kerajaan Islam pertama di Jawa yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Fatah alias Chen Jinwen - Tan Jin Bun sebagai Sultan yang pertama, yaitu putera dari Cek Kopo di Palembang. 

Orang Portugis menyebut Raden Fatah "Pate Rodin Sr." sebagai "persona de grande syso" (pribadi yang mengagumkan) atau "cavaleiro" (bangsawan yang mulia), walaupun demikian orang Belanda sendiri tidak percaya bahwa sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Oleh sebab itulah Residen Poortman 1528 mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk menyelidikinya, apakah Raden Fatah itu benar-benar orang Tionghoa tulen? 

Poortman diperintahkan untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa, dimana sebagian sudah berusia 400 tahun sebanyak tiga cikar/pedati. Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku kontroversial “Tuanku Rao”, dan Prof Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini. 

Pernyataan Raden Fatah adalah seorang Tionghoa ini tercantum dalam Serat Kanda Raden Fatah bergelar Panembahan Jimbun, dan dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senapati Jimbun. Kata Jin Bun (Jinwen) dalam dialek Hokkian berarti "orang kuat". 

Cucu Raden Fatah, Sunan Prawata atau Chen Muming/Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Demak, yang berambisi untuk meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila ia berhasil maka ia bisa menjadi "segundo Turco" (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Sulaiman I dengan kemegahannya. 


Sumber: - D. A. Rinkes "De heiligen van Java"
- Jan Edel "Hikajat Hasanoeddin"
- B. J. O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang - Utrecht: Den Boer
- G.W.J. Drewes, 1969 The admonitions of Seh Bari a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff
- De Graaf and Pigeaud "De eerste Moslimse Vorstendommen op Java" 
- "Islamic states in Java 1500 -1700".
- Amen Budiman "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia"
- Prof. Slamet Mulyana "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara

HASANUL BASRI: MENCARI SURGA

HASANUL BASRI: MENCARI SURGA: "Dan butiran pepasir itu pun menangis saat rintihan Yasir bergelung di langit menahan pedihnya siksaan. Langit mendung tak kuasa menahan muru..."

MENCARI SURGA

Dan butiran pepasir itu pun menangis saat rintihan Yasir bergelung di langit menahan pedihnya siksaan. Langit mendung tak kuasa menahan murungnya ketika Sumayyah merapatkan kedua bibirnya, sesaat kemudian gerigi atasnya mencengkeram kuat-kuat bibir bawahnya. Setetes air mata tak nampak dari sudut matanya meski ribuan tetes darah menghiasi nyaris seluruh raganya. Satu persatu nafas Yasir dan Sumayyah meninggalkan jasad ringkihnya, senyum kemenangan kedua orangtua sahabat Amr bin Yasir itu melambaikan tangan menyambut panggilan lembut para bidadari Surga. Beberapa hasta dari dua jasad mewangi itu, seorang pemuda belia tengah menghadapi maut untuk menapaki langkah-langkah kedua orangtuanya. Bibirnya bergetar dengan tak henti menyebut nama agung Tuhannya. Ya, Amr bin Yasir, meski sebagian orang sempat meragukan keimanannya, di kemudian hari ia justru menjadikan dirinya sebagai tameng Rasulullah di berbagai kesempatan. 

Menjelang perang Uhud dimulai, bersama suaminya, Zaid bin Ashim dan kedua putranya, Habib dan Abdullah, ia keluar ke bukit Uhud. Lalu Rasulullah Saw bersabda kepada mereka, "Semoga Allah memberikan berkah kepadamu semua." Setelah itu perempuan bidadari perang Uhud itu berkata kepada beliau, "Berdo'alah kepada Allah semoga kami dapat menemani engkau di surga kelak, ya Rasulullah!" Lalu Nabi Saw berdo'a, "Ya Allah jadikanlah mereka itu teman-temanku di Surga." Maka perempuan itupun berkata lantang, "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku." 

Dialah Ummu Amarah, Nusaibah binti Ka'ab Al Maziniay. Rasulullah menobatkannya sebagai bidadari surga karena perannya membela Rasulullah saat pasukan muslimin terdesak pada perang Uhud. Bersama Mush'ab bin Umair -yang kemudian menemui syahid setelah mendapatkan puluhan tusukan di tubuhnya- Nusaibah menghadang Qam'ah, orang yang dipersiapkan membunuh Rasulullah dalam perang tersebut. Dua belas tusukan dan salah satunya mengenai leher Nusaibah. Bilah-bilah pedang yang satu persatu menghujam tubuhnya, ujung-ujung cadas tombak, dan barisan anak panah yang menghias tubuhnya, dirasainya sebagai sentuhan lembut para penghuni Surga. Darah mengalir dari setiap inci tubuhnya, air matanya menjadi saksi tak terbantahkan untuk memuluskan jalannya ke surga Allah. Dan debu bukit Uhud pun terharu menerima dentuman tubuhnya, tak henti-hentinya milyaran debu itu bersaksi akan harumnya wangi surga dari tubuh perempuan mulia itu. 

Adalah Mush’ab bin Umair, aroma mewangi sudah tercium persis di depan hidung meski pemuda tampan itu masih berada puluhan meter jauhnya. Pakaiannya terbaik, terbagus dan termahal dari yang pernah dimiliki siapapun di tanah Makkah. Ketampanannya tak terkira, siapa memandang pasti terpesona, bahkan para lelaki pun iri. Siapa yang tak mengenalnya, pemuda perlente anak seorang bangsawan yang kesohor. Tetapi bukan itu yang membuatnya tercatat dalam sejarah manusia mulia pengikut Muhammad. Begitu terucap dari mulut wanginya kalimat Syahadat, bertambah wangi lah setiap sisi rongga mulutnya, wajah yang tampan semakin bersinar penuh cahaya kemuliaan meski tak lagi ia mengenakan gamis kebangsawanan, walau ia menanggalkan semua atribut yang menjadi simbol-simbol kebesaran. Mush’ab tetap tampan, kharismatik, dan menjadi teladan bagi pemuda dan remaja dimasanya, terlebih saat ia dipercaya sebagai duta pertama Rasulullah ke Madinah. Cita-citanya untuk tetap bersama Rasulullah di Surga kelak, di amin-kan oleh seluruh isi langit dan bumi, karena seorang pemuda kaya raya nan tampan itu syahid dengan tubuh penuh lubang dan sayatan. Ia menjadi tameng Rasullullah pada perang Uhud. Meski darah dan debu membaluti wajah dan tubuhnya, siapa yang bisa melepaskan bayang-bayang kharismanya? 

Ada seorang budak hitam legam berasal dari Negeri Habasyah (Negeri Ethiopia yang yang hingga kini terus dicengkeram kelaparan). Bertahun-tahun menjadi budak, diinjak-injak, dicaci, diludahi, bahkan dihalalkan darahnya untuk dibunuh oleh sang majikan. Namun Allah mengangkat derajat Bilal bin Rabbah dengan Islam. Hidayah Allah justru turun kepada manusia yang dihinakan oleh manusia lainnya, budak hitam yang orang mensebandingkan hitamnya seperti pantat kuali itu, sesungguhnya putih berseri serta memancarkan kemilauan di mata Allah, Rasulullah dan orang-orang beriman. Saat sang majikan, Suhail, menindihkan batu besar dan panas diatas tubuh budak itu, hanya kata, “Ahad, Ahad …” yang keluar dari mulutnya hingga kemudian seorang sahabat membebaskannya. Jika boleh dan bisa batu itu berbicara, mungkin ia akan berteriak lantang menolak menindih tubuh mulia itu, atau bahkan memilih hancur berkeping-keping ketimbang harus menjadi perantara tangan Suhail untuk menyentuh kulit kasar namun indah itu. Adakah alasan surga tak menginginkan budak hitam ini menjadi salah satu penghuni terhormatnya? 

***

Dan batu-batu pun iri, debu pun menangis, para cemeti itu menjadi cermin keikhlasan. Bilah-bilah pedang menampung tetes air mata dan darah yang kelak sebagai pemulus jalan membentang menuju surga, bahkan ujung tombak dan mata anak panah bersaksi, betapa orang-orang itu mulia karena perjuangan dan keteguhannya. Mereka tak pernah mencari surga, karena justru surga betul-betul menanti mereka untuk menyinggahi setiap singgasananya, mengarungi riak-riak sungai kautsar yang diatasnya berbagai buah segar dan menawan menanti untuk dinikmati. Tak lupa, bidadari-bidadari cantik nan bermata jeli, membuka tangannya menyambut kehadiran manusia-manusia yang seluruh penghuni langit memujinya. 

***

Berjalan di muka bumi, sama dengan berjalan diatas batu kerikil tajam yang setiap saat akan siap menghunus telapak kaki ini. Jika tak lengkapi diri dengan kesiapan dan ketahanan yang luar biasa, tentu takkan jauh jalan yang bisa ditapaki. Hidup pasti akan selalu beriringan dengan kesulitan, tetapi tak pernah Allah menciptakan kesulitan tanpa diciptakannya pula pintu keluarnya. Bukan maksud Allah membuat sulit hidup manusia, karena Allah juga memberikan petunjuk-petunjuknya. Tapi sekali lagi, mengikuti petunjuk itu pun bukan tanpa cobaan. Hanya dengan keteguhan dan perjuangan, semua akan bermuara pada kebahagiaan. Masalahnya, sedikit sekali dari kita yang kuat bertahan pada cobaan. Adakah butir-butir debu yang menangis karena melihat kesungguhan perjuangan hidup kita? Ah, nampaknya justru kita lah yang terlalu cengeng. 

Tidak jarang, untuk meniti jalan kebenaran, teramat banyak pengorbanan yang mesti dilakukan. Tetapi dasar manusia, lebih banyak promosi dan koarnya ketimbang pengorbanannya yang belum seberapa, padahal kita sama sekali belum diuji. Belum, bahkan belum tiba ujian sesungguhnya. Yang saat ini kita hadapi dan jalani baru riak-riak di pinggir pantai sebelum kita benar-benar mengarugi lautan yang penuh ombak serta karang yang menghancurkan. Coba periksa, di bagian mana dari tubuh ini yang tercabik-cabik penuh darah sebagai bukti besarnya pengorbanan dalam meniti kebenaran? Hmm.. bahkan kita masih enggan untuk menukar sedikit saja yang kita miliki dengan keagungan cinta-Nya. 

Ini belum terbukti! Hingga satu saat kita dihadapkan pada satu pilihan, mati dengan torehan tinta emas kemuliaan atau tetap hidup diatas perisai hina. Nanti akan terbukti! Hidup ini akan berakhir pada ketetapan atas kebenaran, atau sebaliknya, disaat kehormatan pun berpaling. Adakah neraka Allah tak menerima manusia tampan, cantik, kaya raya namun berakhir pada kenistaan? Wallahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu Gaw)